SEKOLAHNOKEN.COM,- Setiap tahun, peringatan Hari Ulang Tahun Noken bukan sekadar perayaan atas pengakuan dunia terhadap warisan budaya Papua, melainkan menjadi momen untuk kembali memahami siapa kita sebagai Orang Papua.
“Siapa kita” yang dimaksud adalah pertanyaan fundamental, dari mana kita berasal, serta masa depan seperti apa yang ingin kita bangun bersama.
Hal ini disampaikan oleh pencetus Noken UNESCO, Titus Pekei, dalam sambutannya pada pembukaan acara lomba merajut Noken yang digagas dan diselenggarakan Pemerintah Kabupaten Intan Jaya di Sugapa, Jumat (4/4/2025).
Penyelenggaraan kegiatan ini merupakan bagian dari peringatan Hari Ulang Tahun pengakuan UNESCO terhadap Noken sebagai Warisan Budaya Takbenda.
“Sejak Noken diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 4 Desember 2012, dunia bukan hanya melihat sebuah tas dari serat alam, tetapi menengarai sebuah falsafah hidup yang telah turun-temurun membentuk masyarakat Papua,” kata Titus Pekei.

Kandidat Doktor dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini menjelaskan bahwa Noken adalah identitas kolektif masyarakat Papua.
Hampir setiap suku di Tanah Papua mengenal Noken dalam bentuk, sebutan, dan fungsi yang beragam.
“Dari pedalaman, Pegunungan hingga pesisir utara , barat dan selatan, Noken hadir sebagai simbol kebersamaan,” ujar Titus.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Noken dipakai untuk membawa hasil kebun, barang kebutuhan, bahkan bayi yang merupakan sebuah praktik yang menunjukkan ikatan antara manusia, keluarga, dan alam.
“Dengan diakui dunia, identitas ini tidak lagi hanya dikenal secara lokal. Noken menjadi penanda bahwa budaya Papua hidup, berharga, dan memiliki tempat dalam peta kebudayaan global,” jelasnya.
Noken sebagai Martabat
Dalam kesempatan itu, Titus menegaskan bahwa martabat dalam Noken tercermin melalui nilai-nilai dasar seperti kerja keras, kesabaran, kemandirian, dan kesetiaan kepada alam.
Para perajin, terutama mama-mama Papua, ketika membuat Noken mengerahkan waktu, ketelitian, dan penghayatan budaya yang mendalam.
“Ketika UNESCO mengangkat Noken ke panggung dunia, martabat Orang Papua ikut terangkat. Pengakuan ini membuktikan bahwa budaya yang lahir dari hutan-hutan adat, lembah-lembah, dan gunung-gunung Papua memiliki kapasitas untuk menginspirasi dunia tentang keberlanjutan, kedamaian, dan harmoni manusia dengan alam,” kata Titus.
Titus Pekei mengatakan bahwa Noken bukan hanya warisan masa lalu; ia adalah harapan masa depan. Melalui Noken, masyarakat Papua diajak untuk:
- Melestarikan Alam dan Bahan Baku Tradisional
Serat alam sebagai bahan dasar Noken adalah bagian penting dari ekosistem Papua. Menjaga Noken berarti menjaga hutan, sungai, tumbuhan serat, dan seluruh sumber daya yang menopang kehidupan Papua.
- Menghargai Perajin dan Ekonomi Lokal
Noken membuka peluang ekonomi bagi perajin lokal. Dengan perhatian yang tepat, Noken dapat berkembang menjadi kekuatan ekonomi kreatif yang berkelanjutan tanpa kehilangan ruh budayanya.
- Mengajarkan Generasi Muda tentang Identitas
Anak muda Papua perlu melihat Noken bukan hanya sebagai souvenir, tetapi sebagai jati diri. Di dalamnya terkandung filosofi kerja kolektif, persatuan, serta tanggung jawab sosial — nilai-nilai yang penting untuk mempersiapkan Papua yang bermartabat.
- Merayakan Keberagaman Papua
Di tengah dinamika sosial dan politik, Noken menjadi simbol pemersatu berbagai suku. Ia mengajarkan bahwa keberagaman adalah kekayaan budaya yang perlu dirawat bersama.
Peringatan HUT Noken adalah ajakan untuk merawat identitas, menjaga martabat, dan menata masa depan. Seperti Noken yang mampu membawa berbagai benda sekaligus tanpa terputus, demikian pula masyarakat Papua diajak memikul bersama tanggung jawab budaya, lingkungan, dan generasi mendatang.
“Selama Noken tetap dirajut, nilai-nilai Papua akan terus hidup.Dan selama nilai itu dijaga, masa depan Orang Papua akan tetap penuh harapan,” ujar Titus Pekei. (*)

