Sudah dua dekade lebih sejak Papua diberi status Otonomi Khusus (Otsus) pada tahun 2001, setelah pada 1 Januari 2000, Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengembalikan nama “Irian Jaya” menjadi “Papua”. Momentum ini seharusnya menjadi titik balik untuk membangun pendidikan yang relevan dan berakar pada identitas Papua, termasuk dengan menghadirkan Muatan Lokal (Mulok) dalam sistem pendidikan secara konkret dan terukur.
Namun faktanya, Mulok Papua nyaris tidak terdengar secara nyata dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah-sekolah. Hal ini mencerminkan bahwa selama ini kita belum sungguh-sungguh menjadikan kearifan lokal sebagai fondasi pembangunan pendidikan di Papua.
Ruang Kosong yang Terus Diabaikan
Dalam Kurikulum Merdeka, Muatan Lokal diatur sebagai mata pelajaran yang bisa disesuaikan dengan potensi dan budaya daerah. Ini peluang besar, tetapi di Papua, pelaksanaannya belum optimal. Padahal Papua adalah wilayah multikultural yang sangat kaya: ada lebih dari 250 bahasa daerah, tujuh wilayah adat, serta kekayaan alam dan budaya yang luar biasa.
Namun, pendidikan kita justru seragam. Anak-anak Papua diajarkan dari buku teks yang jauh dari realitas hidup mereka. Sementara keterampilan khas seperti merajut noken, bertani tradisional, ukiran tidak masuk ke dalam ruang kelas. Bahasa Mee, Damal, Amungme, atau Hubula pun semakin jarang digunakan dalam ranah formal.
Tidak Kontekstual Melahirkan Keterasingan
Pendidikan yang tidak berbasis pada kearifan lokal hanya akan menciptakan keterasingan dalam diri peserta didik. Mereka akan menjadi generasi yang fasih menghafal, tapi asing terhadap identitasnya sendiri. Padahal, tujuan pendidikan seharusnya menumbuhkan jati diri dan karakter bukan menyalin pengetahuan dari tempat lain tanpa pemaknaan.
Muatan Lokal seharusnya menjadi ruang untuk:
- Melestarikan budaya lokal: melalui pengenalan seni, bahasa, adat, dan praktik hidup komunitas.
- Mengembangkan keterampilan lokal: seperti kerajinan, pertanian, perikanan air tawar, serta industri kreatif berbasis tradisi.
- Membangun ekonomi komunitas: melalui pembelajaran proyek yang mendukung ekonomi rumah tangga dan kemandirian lokal.
Muatan Lokal yang Relevan untuk Papua
Dalam konteks Papua, Muatan Lokal harus:
- Fleksibel dan kontekstual: menyesuaikan dengan tantangan tiap wilayah adat dan kondisi geografis.
- Berbasis komunitas: melibatkan tokoh adat, mama-mama pengrajin, dan pelaku seni budaya dalam proses pembelajaran.
- Berbentuk pembelajaran praktik langsung: seperti kegiatan merajut noken, membuat gelang, bertani, memancing, atau belajar bahasa ibu.
Pendidikan seperti ini bukan hanya mendidik, tapi juga menguatkan akar identitas. Ia adalah bentuk keberpihakan terhadap masa depan Papua.
Menuju Kurikulum yang Memihak Papua
Kita tidak bisa berharap perubahan terjadi dari pusat. Pemerintah daerah, dinas pendidikan, dan sekolah di Papua harus mengambil sikap: menjadikan Muatan Lokal sebagai jantung pendidikan, bukan pelengkap. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mendidik anak Papua menjadi dirinya sendiri—orang yang bangga, terampil, dan berakar kuat pada budaya lokal.*
Titus Agiyadokii